Salam hangat blogers lama kita tidak bertemu , mudah mudahan kali ini bisa memberikan sedikit renungan tentang makna budaya bangsa .Beberapa waktu yang lalu kita dengar banya anak tawuran mulai SMP,SMA ,SMK hingga perguruan tinggi bahkan sekarang meninggkat menjadi bentrok antar dua desa ,hemmmm menyedihkan mengingat hari ini adalah hari sumpah pemuda 28 oktober sedikit mengulas apa yang di sampaikan rektor paramadina di harian kompas tanggal 11 september 2012 sebagai berikut :
Oleh Anies Baswedan
Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!
Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.
Ini Soal Tenun Kebangsaan. Titik!
Oleh Anies Baswedan
KOMPAS, 11 September 2012
Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!
Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.
Bangsa ini harus tegas: berhenti bicara minoritas dan
mayoritas dalam urusan kekerasan. Kekerasan ini terjadi bukan soal mayoritas
lawan minoritas. Ini soal sekelompok warga negara menyerang warga negara
lainnya. Kelompok demi kelompok warga negara secara kolektif menganiaya sesama
anak bangsa. Mereka merobek tenun kebangsaan!
Tenun kebangsaan itu dirobek, diiringi berbagai macam pekikan
seakan boleh dan benar. Kesemuanya terjadi secara amat eksplisit, terbuka dan
brutal. Apa sikap negara dan bangsa ini? Diam? Membiarkan? Tidak! Republik ini
tak pantas loyo-lunglai menghadapi warga negara yang pilih pakai pisau,
pentungan, parang, bahkan pistol untuk ekspresikan perasaan, keyakinan, dan
pikirannya. Mereka tidak sekadar melanggar hukum, tetapi merontokkan ikatan
kebangsaan yang dibangun amat lama dan amat serius ini.
Mereka bukan cuma kriminal, mereka perobek tenun kebangsaan.
Tenun kebangsaan itu dirajut dengan amat berat dan penuh keberanian. Para
pendiri republik sadar bahwa bangsa di Nusantara ini amat bineka. Kebinekaan
bukan barang baru. Sejak negara ini belum lahir semua sudah paham. Kebinekaan
di Nusantara adalah fakta, bukan masalah! Tenun kebangsaan ini dirajut dari
kebinekaan suku, adat, agama, keyakinan, bahasa, geografis yang sangat unik.
Setiap benang membawa warna sendiri. Persimpulannya yang erat menghasilkan
kekuatan. Perajutan tenun ini pun belum selesai. Ada proses terus-menerus. Ada
dialog dan tawar-menawar antar-unsur yang berjalan amat dinamis di tiap era.
Setiap keseimbangan di suatu era bisa berubah pada masa berikutnya.
Warga negara, penganut agama
Dalam beberapa kekerasan belakangan ini, salah satu sumber
masalah adalah kegagalan membedakan ”warga negara” dan ”penganut sebuah agama”.
Perbedaan aliran atau keyakinan tak dimulai bulan lalu. Usia perbedaannya sudah
ratusan, bahkan ribuan tahun dan ada di seluruh dunia. Perbedaan ini masih
berlangsung terus dan belum ada tanda akan selesai minggu depan. Jadi, di satu
sisi, negara tak perlu berpretensi akan menyelesaikan perbedaan alirannya. Di
sisi lain, aliran atau keyakinan bisa saja berbeda tetapi semua warga negara
republik sama. Konsekuensinya, seluruh tindakan mereka dibatasi aturan dan
hukum republik yang sama. Di sini negara bisa berperan.
Negara memang tak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antarpenganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga senegara.
Negara memang tak bisa mengatur perasaan, pikiran, ataupun keyakinan warganya. Namun, negara sangat bisa mengatur cara mengekspresikannya. Jadi, dialog antar-pemikiran, aliran atau keyakinan setajam apa pun boleh, begitu berubah jadi kekerasan, maka pelakunya berhadapan dengan negara dan hukumnya. Negara jangan mencampuradukkan friksi/konflik antarpenganut aliran/keyakinan dengan friksi/konflik antarwarga senegara.
Dalam menegakkan hukum, negara harus melihat semua pihak
semata sebagai warga negara dan hanya berpihak pada aturan. Aparat keamanan
harus hadir melindungi ”warga-negara” bukan melindungi ”pengikut”
keyakinan/ajaran tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat hadir untuk
menangkap ”warga-negara” pelaku kekerasan, bukan menangkap ”pengikut” keyakinan
yang melakukan kekerasan.
Menjaga tenun kebangsaan dengan membangun semangat saling
menghormati serta toleransi itu baik dan perlu. Di sini pendidikan berperan
penting. Namun, itu semua tak cukup dan takkan pernah cukup. Menjaga tenun
kebangsaan itu juga dengan menjerakan setiap perobeknya. Bangsa dan negara ini
boleh pilih: menyerah atau ”bertarung” menghadapi para perobek itu. Jangan
bangsa ini dan pengurus negaranya mempermalukan diri sendiri di hadapan penulis
sejarah bahwa bangsa ini gagah memesona saat mendirikan negara bineka tetapi
lunglai saat mempertahankan negara bineka.
Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek hampir pasti tak bisa memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas, selalu ada cacat.
Membiarkan kekerasan adalah pesan paling eksplisit dari negara bahwa kekerasan itu boleh, wajar, dipahami, dan dilupakan. Ingat, kekerasan itu menular. Dan, pembiaran adalah resep paling mujarab agar kekerasan ditiru dan meluas. Pembiaran juga berbahaya karena tiap robekan di tenun kebangsaan efeknya amat lama. Menyulam kembali tenun yang robek hampir pasti tak bisa memulihkannya. Tenun yang robek selalu ada bekas, selalu ada cacat.
Ada seribu satu pelanggaran hukum di Republik ini, tetapi
gejala merebaknya kekerasan dan perobekan tenun kebangsaan itu harus jadi
prioritas utama untuk dibereskan. Untuk menyejahterakan bangsa semua orang
boleh ”turun-tangan”, tetapi menegakkan hukum hanya aparat yang boleh
”turun-tangan”. Penegak hukum dibekali senjata tujuannya bukan untuk tampil
gagah saat upacara, melainkan untuk melindungi warga negara saat menegakkan
hukum. Negara harus berani dan menang ”bertarung” melawan para perobek. Saat
tenun kebangsaan terancam itulah negara harus membuktikan di Republik ini ada
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tetapi tak ada
kebebasan melakukan kekerasan.
Aturan hukumnya ada, aparat penegaknya komplet. Jadi, begitu
ada warga negara yang pilih melanggar dan meremehkan aturan hukum untuk merobek
tenun kebangsaan, sikap negara hanya satu: ganjar mereka dengan hukuman yang
amat menjerakan. Bukan cuma tokoh-tokohnya yang dihukum. Setiap gelintir orang
yang terlibat dihukum tanpa pandang agama, etnis, atau partai. Itu sebagai
pesan pada semua: jangan pernah coba-coba merobek tenun kebangsaan! Ketegasan
dalam menjerakan perobek tenun kebangsaan membuat setiap orang sadar, memilih
kekerasan sama dengan memilih diganjar dengan hukuman menjerakan. Ada kepastian
konsekuensi.
Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebinekaan itu secara tanpa syarat. Biarkan kita semua—dan kelak anak cucu kita—bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.
Anies Baswedan Rektor Universitas Paramadina
Ingat, Republik ini didirikan oleh para pemberani: berani dirikan negara yang bineka. Kini pengurus negara diuji. Punyakah keberanian untuk menjaga dan merawat kebinekaan itu secara tanpa syarat. Biarkan kita semua—dan kelak anak cucu kita—bangga bahwa Republik ini tetap dirawat oleh para pemberani.
Anies Baswedan Rektor Universitas Paramadina
nah setelah membaca tulisan rektor univ paramadina di atas tentu ada pertanyaan , adakah yang salah di negeri ini , pendidikan yang salah atau sebuah lost culture ? dahulu bangsa ini terkenal sebagai bangsa yang ramah dan berbudi bahasa yang baik . Nasionalisme yang tinggi serta rasa kebersamaan yang sangat luar biasa .tapi saat ini itu semua hilang , tidak pernah lagi kita lihat orang bergotong royong , tidak pernah lagi atau jarang kita lihat orang bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah , semua mengedepankan egoistis dan emosional semata ! kemana budaya asli bangsa kita ? dilematis tetapi itulah yang terjadi ! bagaimana kita menyikapinya ? semua kembali kepada kita . JASMERAH itulah pesan proklamator kita ......
coba kita renungkan dan camkan dalam hati bagaimana kita mengembalikan Lost culture tadi atau menenun kembali kebangsaan yang terkoyak tadi .............mari pemuda indonesia bangkit dan jadilah generasi yang mengembalikan lost culture dan menenun kembali kebangsaan kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar